Senin, 30 Juni 2008

Chapter 1

P to Prolog



Adalah seorang gadis kelas 3 smp yang baru saja menghadapi ujian akhir. Seorang gadis yang begitu mencintai sahabat-sahabatnya. Mereka yang selalu ada di samping si gadis, sehingga ketika mereka tidak ada di sampingnya lagi, di gadis ’dipaksa’ untuk menemukan hal lain yang dapat menuntunnya.

”Ta, ayo dongg sinii !! Cuma lo doang yang tadi gak ikutan foto, taa!”
Seorang gadis lain, sama-sama kelas 3 smp, di sekolah yang sama dengan Diantha. Terdengar memanggil si gadis bernama Diantha.
”Aduuh. Sialan lo semua! Udah pada foto-foto gak ngajak-ngajak lagi!” Diantha terdengar menyahut dari suatu tempat. Akhirnya sosoknya mulai terlihat berlari menuruni tangga lantai 2.

Tidak lama kemudian empat gadis remaja itu pergi melangkahkan kaki mereka keluar dari tempat yang telah membantu mereka mengukir sebagian sejarah hidup mereka. Mereka hanya tidak tahu apa yang menunggu mereka di luar gerbang ini.


















































Go, make something new.

Buat gue, every ending is a new beginning. Tapi masalah lebih baik mana, yang berakhir atau yang baru akan dimulai, gue gak berani menjamin.
- Diantha


Bruk. Tas hitam yang berlambangkan logo band favoritnya, The used.
”Crooot. Jangan lupa yah, puding coklat si tante jangan sampe ketinggalan di kulkaas. Ntar busuk, crot.” Diantha dengan suara cemprengnya. Keempat gadis itu sekarang ada di rumah salah satu dari mereka. Yang ini namanya karina. Tapi mereka lebih suka memanggilnya kancrot. Yeah, sounds much more cute. Rumahnya hanya butuh 5 menit perjalanan (kaki) dari sekolah mereka. Base camp (terbaik).

”Eh, nyalain dong tv nya. Sepi nih.” Deynia teriak dari ujung kamar.
” Jangaaan! Gue mau dengerin lagu ! gak boleh pokoknya!” sekarang giliran Ayast menyuarakan gejolak hatinya.
Lalu terjadi konflik pertama : apakah tv harus dinyalakan?

” Croot. Mana puding coklatnya?” diantha menyuarakan gejolak perutnya.
” Aduh, ta. Ambil sendiri deh tuh. Di belakang.” Kancrot udah mulai malas melakukan apa-apa. Sekarang dia sudah menempati singgasananya. Di ujung kamar, sambil menikmati lantunan musik dari ipodnya. Diantha tahu, this is gonna be hard for her to make this girl move. Jadi Diantha berinisiatif untuk mengambilnya sendiri.
Terjadi konflik kedua : siapa yang akan menemaninya mengambil si pudding coklat ?

Mereka memang selalu mencari hal-hal yang bisa diciptakan sebagai konflik yang baru. Entah mereka memang mencintai konflik. Atau mereka yang tidak menyadari bahwa semua itu adalah konflik, tapi yang pasti mereka merasakan sesuatu yang saat itu mereka tidak tahu bahwa mereka akan sangat merindukannya suatu saat nanti. Di saat mereka terpisah jauh dan tidak mengerti apa yang ada di pikiran masing-masing. The will absolutely miss those days.


”Eh, nyadar gak sih lo semua. Kita udah gak bakalan ada di sekolah lagi loh. Ujian udah selesai loh.” Deynia memulai obrolan serius mereka. Ritual mereka yang satu ini tidak pernah terlewatkan. Membicarakan sesuatu yang berat, it’s all about their life. Dan selalu saja topic itu diletakkan di belakang jadwal acara.
”Iya juga yah. Kita gak bakalan ke sekolah lagi loh. Nggak dengan seragam dan ngebawa buku-buku kayak orang freak, as we did.” Diantha nyaut.
“ Jadi kita beneran udah lulus?” Ayast memulai kedodolannya.
”Ayaaaassstt.” serempak.
”Belom lulus yah?” Bingung dia tampaknya.
”Belom, tapi akan.”
” Dan kalo nanti si ’akan’ itu udah menjadi present, alias udah bukan ’will’ lagi, kita udah bukan temen satu sekolah lagi, tapi temen masa lalu.” Deynia mulai membuat hipotesis yang berat, Ayast pasti gak ngerti.
” Iya, dan ketika saat itu datang, kita harus bisa membuktikan sama dunia kalo kita bakalan terus bersatu karena kita sebagai teman masa lalu dan akan tetap menjadi teman masa kini.” Diantha tetap mengambil kesimpulan yang lebih posotif. The one that won’t make her cry.
“Kita bisa gak ya, tetep kayak gini?” Kancrot meninggalkan ipodnya.
”Gue gak tau, yang pasti gue maunya iya.” Deynia berkaca-kaca.
” Tapi tetep aja kita gak bakalan ketemu lagi sama momen di mana kita lagi bingung mau ada ulangan fisika dan kita gak ada yang ngerti. Kita gak bakalan ketemu momen Ayast lagi teriak-teriak manggilin richy pas mau minta lagu-lagu metalnya, Kita gak bakalan ketemu momen cabut fisika. Kita Cuma bisa nginget kenangannya doang. Dan itupun kalo masih inget.”
Diantha sudah tidak tahan dengan hatinya yang mulai menyadari betapa dia akan kehilangan sahabat-sahabatnya ini. Betapa selama ini dia sangat menggantungkan hidupnya kepada mereka. Betapa besarnya bagian di hatinya yang sudah menjadi hak milik mereka. Betapa besarnya lubang yang akan kelulusan ini ciptakan di hatinya. Lubang besar yang dia pikir tak akan pernah bisa ditutupnya.

So she cried. And also did the rest of those girls in the room. They realize how lovely they were. How lifeless they are going to be without each other.

***
Friends are still the way they were.

My best friends say that I am suck, but they love me anyway.
- Ayast

Diantha meminum susu coklatnya seteguk demi seteguk. Dia merasa sedikit canggung dengan pakaiannya sekarang. Seragam putih abu-abu. Dia merasakan suatu kebanggaan tersendiri mengenakannya. Dia semakin merasa dapat meledek adik lelakinya, since that boy’s still on elementary school.
“ Ta, ayo kita berangkat.” Mama membukakan pintu depan demi anaknya yang kini beranjak dewasa, anak gadisnya yang akan mulai mengukir kenangan barunya di masa SMA.
” Iya, Ma.”

***


”Pokoknya intinya besok senin tuh lo semua udah harus pake semua yang tadi udah disebutin, ya. Kalo sampe ada yang nggak pake, yah liat aja ntar, yang pasti ada konsekuensinya.” Seorang cowok, kakak kelas tiga. Mukanya lucu, dia ketua SOSIS. Ups, OSIS i mean.

Diantha terlihat sempat membuka mulutnya, kaget. Bukan kelaparan tampaknya. Diantha kaget dengan apa yang ada di tangannya sekarang. Selembar kertas yang berisi sebuah gambar, lambang tampaknya. Lambang OSIS sepertinya. Jadi setiap siswa baru diwajibkan memakai nametag dengan bentuk yang luar biasa itu. Diantha tidak bisa berhenti berpikir keras, bagaimana dia akan menyelesaikan karya itu dalam dua hari. Dan lagi dia sudah memiliki janji dengan teman-temannya. Dia akan menjadi milik mereka satu hari penuh hari minggu nanti, since her best friends told her they lost her for those new-school-things.


***



"Aduh ta. Tumben telat lo. Filmnya udah mulai, dodol.” Deynia memprotes temannya yang biasanya tidak pernah terlambat itu.
” Sorry, sorry. Udah, mana sini popcorn pesenan gue?”
“Nih, take this.”
“ Thanks.”
“ Eh, ta. Gimana labschool? Seru, nggak?”
“Yeah, seru banget. Baru satu pertemuan gue udah disuruh bikin karya yang luar biasa.”
”Hah? Maksud lo?”
”You’ll see, hon.” Diantha mencoba meneruskan menikmati filmnya. Meskipun dia masih sibuk berpikir kenapa sedari tadi pria berkulit hitam ini tidak pernah menyadari keberadaan si gadis di sebelahnya? Diantha menyesali kenapa dia terlambat datang, then she doesn’t understand every single move on the film.

“Ah, kacrut banget nih. Gue gak ngerti, loh. Tu film maksudnya apa?” Diantha mengeluhkan penderitaannya kepada teman-temannya.
”Yah, salah lo juga. Udah tau tuh otak gak bisa bekerja maksimal mencerna film berat kayak gitu. Masih juga dateng telat, pinter apa pinter, mba?” Sergah Ayast sambil memesan minuman.
”Ah sialan lo, yast. Tau deh yang lagi pinter. Otak lo ditransplantasi sama otak apaan, yas? Emangnya muat yah, masukkin otaknya organisme lain? Kapasitas tempurung kepala lo bukannya lebih kecil dari punyanya primata yang lain?” Diantha membalas meledek.
”Hah? Ngomongin apaan sih lo, ta? Dasar aneh.” ayast Cuma mengelak, Intinya dia gak ngerti apa maksud si Diantha.
”Eh ta, minuman yang coke ditambahin ice cream pake coklat lagi tuh namanya apa sih, ta? Gue mau itu tapi lupa namanya, malu sama mba nya.” Deynia memotong perdebatan kedua sahabatnya itu.
”Heh? Gak tau? Minuman apaan, tuh Dey? sounds yummy.” Sahut Diantha, tidak focus kepada pertanyaan.
“Aduh, ta. Yang tadi, masih yang tadi. Apa hubungannya transplantasi otak, kapasitas tempurung kepala primata, sama film yang tadi?” Ayast masih (amat) penasaran.
”Okay, then you are here with the same brain as usual. Nothing’s changed.” Akhirnya Diantha menemukan faktanya.
“ Apaan lagi tuh maksudnya? Kok sekarang jadi otak gue?? Hah? Apaa sih, gak ngertiiii, taaa.” Ayast bingung, makin bingung, dan tambah bingung.
“Well, you don’t have to understand anyway. Udah diem, gue belom pesen nih, yas. Mba, coke floatnya satu, yah.”


***

“Gilaa. Udah jam berapa nih? Ta, besok lo sekolah ya? Udah mulai mos kan?” Kancrot memulai pembicaraan.
”Iyow. Ah, baru jam 3 kok. Gak papa lah. Bentar lagi aja nongkrong dulu di sini deh.” Diantha santai.
”Oke kalo gitu. Eh, ngomong-ngomong, ta. Tadi tuh maksud lo apaan, sih? Karya luar biasa tuh apaan, ta?” Deynia teringat pembicaraan mereka di studio tadi.
” Damn.” Diantha berhenti menyuap sup nya.
” Kenapa, ta? Panas banget, ya?” Ayast sudah mulai menyiapkan minuman untuk Diantha.
” Nggak, bukan, bukan, yas. Itu, karya luar biasanya. Gue belom bikin, gue lupa, anja.” Muka Diantha memerah.
” Hah? Mampus aja. Lo bawa bahannya?” Deynia yang sudah mendengar sedikit ceritanya mulai mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
” Bawa deh kayaknya ada di tas gue yang di rumah kancrot.”
” Oke. Mba, minta bill nya yah.” Deynia berteriak kecil ke arah seorang pramusaji di dekatnya.



***


”Sumpah, nih yang warna ijo gak ada yang mirip sama yang dicontoh, gimana dong ni, ta?” Deynia terlihat begitu pusing mencari karton dengan warna-warna yang harus (terlihat) sama.
”Yaah, di mana-mana gak ada yang kayak gini, ta. Lo gak nanya sama kakak kelas lo, ini belinya di mana?” Kancrot mulai protes.
” Yah, croti bego deh. Kalo gue jadi kakak kelasnya juga gue gak bakalan ngasih tau beli di mana. Gimana sih lo crot?” Ayast ikutan protes.
Konflik, lagi.


”Oke, lo yakin nih ta. Begini gak papa?” Deynia ragu dengan hasil ’perburuan’ karton ini.
”Yah, abis mau gimana lagi, Dey? Mau cari di mana lagi?” Diantha yang juga merasakan keraguan yang sama menanyakan solusi kepada orang yang salah.
” Yaudahlah, kawan. Daripada lebih lama lagi, udah kita pulang aja nyok, cepetan ngerjain ntar gak keburu.” Kancrotlah, the one who brought us back to the line.

”Yup. Ini bukan sekedar nametag biasa. Ini emang beneran luar biasa, men.” Ayast berkomentar.
”Gak penting lo.”


***


” Taaa. Gue gak ngerti nih, yang bagian sini harus dibentuk persis kayak daon yah?” Kancrot sudah mulai terlihat malas-malasan. Mereka berempat udah berkutat di nametag-yang-luar-biasa-susah-bikinnya itu selama kurang lebih 3 jam. Sekarang sudah hampir pukul delapan dan mereka baru menyelesaikan setengahnya.
” Hei hei. Anak-anak om lagi pada ngapain ini? Kok kalem banget? Om gak denger suara cekikikan lagi?” Si Papa Bean, itulah sebutan mereka bertiga bagi pria yang satu ini. Pria ini sudah menjadi ayah kedua mereka. Kancrot adalah anak satu-satunya di keluarga ini, jadi orangtuanya pun menganggap Diantha, Deynia, dan Ayast sebagai anak mereka juga. Pria ini adalah ayah paling baik bagi mereka. Dia selalu bisa membuat mereka tertawa terbahak-bahak, bahkan di saat mereka sedang menangis bersama. Papa bean selalu bersedia menemani mereka, menolong mereka. Bahkan papa bean adalah guru privat mereka selama masa-masa menjelang ujian nasional. Papa bean benar-benar sesosok pahlawan di mata keempat anaknya ini.
Notes: Wajah dan tingkah lakunyalah yang menciptakan nama bagi dirinya sendiri. Papa Bean, they love him (a lot).
Dan kecintaan Diantha akan Papa Bean semakin bertambah begitu besarnya hari ini.

Begitu mengetahui apa yang mereka kerjakan, Papa Bean tanpa basa-basi lagi langsung membantu mereka dan menginstruksikan mereka apa yang harus mereka lakukan. He told them what to do and what they did wrong. So they don’t have to make another stupid mistake.

1 jam kemudian, Diantha sudah mulai di cari-cari orangtuanya. Diantha memang selalu menjadi yang paling susah mendapatkan izin pulang malam dari orangtuanya. Tapi kali ini Diantha sedikit tidak memperdulikannya. Dia sangat takut apabila nametag ini tidak dapat ia selesaikan hari ini juga. Apa yang akan terjadi besok?
Sedangkan nametagnya belum mengalami kemajuan yang terlalu pesat. Ternyata metode yang sedari tadi mereka gunakan ketika menempel karton-karton beraneka warna ke pola-pola yang telah ditentukan itu akhirnya mempersulit mereka untuk melakukan step selanjutnya, membuat pola spidol. Akhirnya mereka terpaksa harus membongkar those-three-hours-took-time-thing.
Pukul setengah malam dan mereka baru menyelesaikan ¾ nya.
Papa bean mencari inisiatif untuk mencari tenaga kerja tambahan. Ia pun menghubungi salah satu adknya yang tinggal di sekitar situ dan menyuruh pria muda itu untuk membantu mereka menggunting-gunting karton. Pria pertama yang ia hubungi menolak untuk menolong dan langsung disambut dengan sorakan penuh kekecewaan dari seisi rumah ; mama kancrot, mbak sumi, mas toto, dan 2 ekor kucing peliharaan kancrot, juga kelima pekerja itu semua, tentunya.
Akhirnya pria ke 4 yang dia hubungi bersedia menolong mereka.
Nametag itu pun selesai dengan bau keringat perjuangan 6 orang pekerja keras; 4 orang sahabat, 1 orang superdad, dan 1 orang sukarelawan baik hati. Diantha tidak akan pernah melupakan jasa sahabat-sahabatnya dan keluarga keduanya itu. Diantha begitu menyayangi mereka. Diantha bersumpah akan membalas jasa mereka suatu hari nanti.


***


”Nama lo siapa?” Seorang OSIS cowok mendatangi Diantha.
”Hah? Diantha.” Diantha menjawab agak cuek. Takut juga sih, tapi kan gengsi kalo ketakutan.
”Mana sini gue liat nametag lo.” Tanpa menunggu jawaban si lawan bicara, cowok itu langsung menyabet nametag si adik kelas.
Cowok itu memperhatikan nametag itu dengan amat seksama. Sampai akhirnya ia memutuskan bahwa nametag gadis kelas satu ini masih belum sempurna dan patut disita olehnya.
”Oke, sini keluarin nametagnya. Warnanya ada yang gak pas.” Cowok itu berkata dengan style-nya yang penuh wibawa (yang dibuat-buat).
”Hah? Mm. Iya deh kak.” Diantha tidak berani menolak, meskipun nametag itu adalah bukti cinta sahabat-sahabatnya.

Lalu tidak lama setelah itu, di kelas. Diantha dan teman-teman satu angkatannya sedang menikmati extrafooding.

Kak Wendy : Jalan dengan busung dada
Diantha : Makan donat belepotan
Kak Wendy : “ Mana donat kamu yang satu lagi ? Udah abis ?”
Diantha : Bengong.“ Oh, engga , aku emang Cuma bawa satu,kak.”
Kak Wendy : Diam, memandangi Diantha. “ Oh. Mmm .”Ngangguk . Ganteng.
Diantha sedikit terpesona dengan kakak kelasnya yang satu ini. Selain karena wajahnya yang memang tampan, obrolan barusan membuat Diantha berpikir bahwa si kakak kelas ini adalah kakak kelas yang baik.
Kak Wendy : Berjalan ke arah Diantha ke bangkunya yang ada di belakang.
Diantha : disamperin lagi ni , asiik !
Kak Wendy : Ngeliatin si putri cantik sejenak . terpesona tampaknya.
Diantha : Ngeliatin si pangeran tampan yang galak . seakan bertanya.Kenapa kak?
Kak Wendy : “Kamu , bandananya kok kayak gituu ?”
Diantha : “iya ni kak. Aku gak nemu yang kayak gitu.” Nunjuk ke temen si sebelahnya.
Kak Wendy : “Kok temen-temen kamu yang lain bisa ketemu ?”
Diantha : “Waduh, mana aku tau ? Merekanya jago kali?”
Kak Wendy : Sedikit nahan ketawa. “Yaelah. Di mayestik banyak kali.”
Diantha : “iya , aku tau . Tapi rumah aku tuh di Cinere, kaak.” Sedikit merengek.
Kak Wendy : “Yaelah . Mayestik doang tinggal ngesot kali .”
Diantha : “ Yaah . Aku gak bisa ngesot……”
Kak Wendy : Mencibir. Pergi meninggalkan si putri cantik yang terlalu dodol.


Pukul 4 sore. Semua anak sudah beranjak pulang dari sekolah. Diantha masih berkutat dengan handphone nya, sambil menunggu dijemput. Tiba-tiba handphone nya menandakan ada sms masuk.


From : 0856877*****
04-02pm
Kancrodh-

Woyy, how’s today?



Diantha langsung merasa sedikit menyesal tadi dia sempat melupakan sahabat-sahabatnya yang kini sudah tidak satu sekolah lagi dengannya. Secepat mungkin ia membalas sms dari sahabatnya itu.





To: 0856877****
04-03pm
Kancrodh-

Haha, pas banget lo sms gue crott.
Telvon gue dongg, mau ceritaa ;)


Sambil menunggu telfon dari sahabatnya itu, Diantha sempat menyapa beberapa teman barunya. Cukup lama Diantha menunggu telfon dari Kancrot. Setelah cukup lama terbengong, and she hate it, akhirnya telfon yang ditunggu-tunggu datang juga. Mereka pun menghabiskan sepanjang perjalanan pulang Diantha untuk menceritakan semua yang mereka baru saja alami. Di hari-hari baru mereka ini, tentunya.



***